Chasing Sun and Moon

Viony Wijaya
5 min readAug 31, 2020

--

pixabay/himanshugunarathna

I always love to travel. For me travel is a thing that you will never get bored with. Selalu ada pengalaman baru yang bisa diceritain ke orang lain atau untuk sekedar blogging. Aku selalu mencoba untuk travelling at least 2 kali dalam setahun ke tempat yang baru. Kenapa 2 kali? 1 destinasi domestik dan 1 destinasi internasional. Pernah ada teman ku yang bertanya.

“Lu ngapain ke Vietnam? Di Indo kan juga banyak yang view nya kurang lebih sama kayak gitu. Tinggal pinter-pinter carinya aja.”

Atau ada juga yang seperti ini.

“Ngapain sih travelling di Indo? Harga tiketnya setara dengan beli tiket rute internasional. Mendingan travelling ke luar sekalian. Ke Lombok PP 1 kali bisa buat Singapore PP 2 kali.”

Dari 2 pernyataan tersebut memang nggak ada yang salah, semuanya benar. Tinggal tergantung dari mana point of view nya. Tapi kalau untuk aku pribadi, setiap tempat memiliki keunikannya masing-masing. Seperti orang yang lebih memilih Bangka daripada Belitung dan orang yang lebih memilih Nepal daripada Hongkong. Pasti ada alasan kuat kenapa mereka memilih tempat tersebut. Entah mungkin alasannya karena males pergi tempat yang mainstream, ingin mencoba tempat wisata yang belum terlalu terjamah orang, atau cuman sekedar ingin melengkapi bucket list destination. Kalau aku sih, I just want to see the world.

Dari seluruh kegiatan travelling mulai dari sortir tempat destinasi yang mau di tuju sampai mendokumentasikannya di camera pocket, yang paling aku nggak suka cuman satu hal (atau dua ya) yaitu packing dan unpacking. Rasanya males banget. Harus buka lemari baju lalu berpikir kira-kira baju mana yang cocok untuk di bawa pergi, bagaimana kalau ternyata baju yang kita pikir akan nyaman kita pakai ternyata jadi nggak nyaman sama sekali, bagaimana kalau baju yang kita pikir nggak akan kita bawa ternyata seharusnya di bawa, dan yang terakhir yang paling menyebalkan bagaimana kalau barang-barang kecil yang sangat penting untuk kita bawa ternyata nggak kita bawa either itu ketinggalan atau bahkan kita nggak inget kalau kita harus bawa barang tersebut misalnya gembok dan kunci untuk koper kita atau bahkan senter. Karena udah terlalu sering aku nggak ingat untuk membawa barang penting ketika travelling, mau nggak mau pun aku harus membuat what-to-bring notes setiap kali packing. Hal yang nggak begitu aku sukai karena terkesan sangat terorganisir dan merasa kalau ingatan ku masih belum terlalu buruk (tapi ternyata umur berkata lain, aku jadi keterusan menggunakan notes karena sifat pelupa ku nggak hilang-hilang). Kebiasaan ini pun akhirnya nggak hanya di travelling aja, tapi juga menjadi rutinitas di kehidupan ku sehari-hari misalnya untuk deadline kerjaan yang harus dikerjakan hingga belanja di supermarket.

Ternyata rutinitas pattern travelling tersebut nggak cuman terjadi di dunia travelling aja, patter ini juga terjadi di aspek lain, contohnya dunia kerja. Hari pertama masuk kerja dapat diibaratkan sebagai tahap pre-travelling. Tahap pre-travelling dimulai dari menentukan destinasi travelling, mencari info mengenai hal apa saja yang bisa dilakukan di sana, packing, hingga ketakutan dan kecemasan yang muncul terhadap kemungkinan terburuk yang bisa terjadi misalnya nyasar atau kecopetan. Di sisi lain hari pertama masuk kerja menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh kita sebagai karyawan baru sekaligus menjadi hal yang bikin nervous karena harus menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru. Berbagai macam kemungkinan muncul di kepala kita mulai harapan bahwa kita akan diterima dengan baik oleh teman sekantor sampai dengan kemungkinan kita tidak disukai oleh bos karena kinerja kita tidak memenuhi harapan.

Tahap kedua adalah travelling itu sendiri. Tahap ketika kita sudah sampai di tempat tujuan dan siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Hal yang dapat kita lakukan “hanya” explore tempat tersebut sebanyak-banyaknya dan membuat kenangan baru. Begitu sudah melewati hari pertama masuk kerja yang bikin nervous pun begitu. Hal yang dapat kita lakukan hanya melakukan bagian kita sebaik mungkin dan hal buruk apapun yang terjadi, we should be ready to handle it. Kemudian ketika kita merasa udah nggak ada lagi yang bisa di explore di tempat tersebut, kita akan meninggalkan tempat tersebut with a good memory dan pastinya nggak meninggalkan sesuatu yang buruk di sana dimana tahap ini disebut dengan post-travelling. Setelah beberapa bulan ataupun tahun di tempat kerja tersebut dan kita sudah merasa saatnya mencari kesempatan yang lebih besar lagi, kita akan resign. Tidak ada yang bisa kita bawa dan berikan kepada rekan kerja kita kecuali memori-memori yang baik dan buruk selama kita bekerja di sana.

Selain hal-hal tersebut, ada juga hal utama yang merupakan kesamaan antara travelling dan dunia kerja: kita memulai dan mengakhiri hal tersebut atas kemauan kita sendiri (kecuali kalau dipecat oleh perusahaan tentunya). Kita yang menentukan sendiri mau kapan kita mulai travelling atau kapan kita memutuskan untuk resign. Apakah hal tersebut mudah? Semudah menentukan film apa yang mau di tonton untuk weekend ini? Ternyata nggak semua orang beranggapan demikian.

Karena pada dasarnya, travelling dan dunia kerja memiliki kesamaan lainnya yaitu dalam hal ruang waktu. Kenapa? Karena kesempatan yang datang jarang terjadi 2 kali dalam hidup. Apakah pasti bahwa kesempatan tersebut hanya akan terjadi sekali? Tentu saja nggak pasti, kesempatan tersebut bisa datang di lain waktu dimana kita berada di keadaan yang lebih baik ataupun lebih buruk dari kali pertama kesempatan itu datang. Tapi yang hanya hadir sekali dalam hidup adalah bagaimana kita bereaksi terhadap kesempatan tersebut. Dilema antara pergi ke Nepal yang baru terserang gempa karena kita sudah menyiapkan mulai dari tiket hingga membayangkan hal-hal apa saja yang akan kita lakukan di sana atau tidak mau mengambil resiko akan terjadinya gempa susulan sehingga kita membiarkan tiket pesawat hangus dan membatalkan semua hotel yang sudah di booked jauh-jauh hari sebelumnya.

Dilema antara tetap bekerja di perusahaan multinasional dengan gaji super oke dan fasilitas super nyaman yang merupakan perusahaan incaran para pelamar kerja atau memutuskan untuk resign lalu membuka usaha sendiri karena merupakan impian sejak kecil dan tidak ingin lagi membenamkan diri dalam kerjaan dan deadline yang nggak ada akhirnya. It is all our choice.

Tidak menutup kemungkinan dengan kita memilih pergi ke Nepal ternyata ujungnya menjadi bencana untuk kita karena di sana ternyata terjadi gempa susulan. Besar kemungkinan juga dengan kita memilih untuk resign dan menjalankan usaha sendiri ternyata itu merupakan awal keterpurukan dari karir kita.

Setiap pilihan memiliki resiko masing-masing, yang bisa kita lakukan hanya meminimalisir besar resiko yang akan kita terima dalam setiap pilihan.

--

--